A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Mulai tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri. Melaui PNPM Mandiri pemerintah merumuskan kembali
mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat,
mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian
masyarakat, terutama masyarakat miskin, agar dapat menumbuhkembangkan potensi
diri sehingga masyarakat bukan sebagai obyek, melainkan juga sebagai subyek
upaya penanggulangan kemiskinan.
Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan
beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi; Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di
perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)
untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik.
Sejak tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk
mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM
Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang
dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Pelaksanaan
PNPM Mandiri 2008 juga dilakukan pada desa-desa tertinggal. Dengan
pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka
kebijakan PNPM Mandiri, cakupan penanggulangan kemiskinan diharapkan dapat efektif dan efisien.
Pemerintah mencanangkan proses pemberdayaan dalam program PNPM Mandiri dilaksanakan
sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu
pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium
Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada
indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia
mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut.
Berdasar pada latar belakang tersebut, PNPM Mandiri sebagai salah satu
program pemerintaha dalam penanggulangan kemiskinan, maka perlu dilakukan
penelitian tentang bagaimana implementasi pelaksanaan PNPM Mandiri di salah
satu tempat di Indonesia. Penelitian tersebut akan dititikberatkan pada sampai
sejauhmana keterlibatan stakeholder
dalam penyusunan program tersebut, sebab masyarakat dalam program ini bukan
lagi sebagai obyek penanggulangan kemiskinan, sebaliknya harus menjadi subyek
upaya penanggulangan kemiskinan di daerahnya.
Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Sentolo, Kabupaten
Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan
karena, dalam beberapa berita media, pelaksanaan PMPM Mandiri di kecamatan ini
dianggap cukup berhasil.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasar
pada latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini disusun dalam
bentuk pertanyaan, yaitu: Bagaimanakan implementasi Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri dilakukan di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
C.
TUJUAN DAN MANFAAT
1.
Tujuan
a.
Mengetahui
proses formulasi program PNPM Mandiri di daerah.
b.
Mengetahui
bagaimana model dan bentuk implementasi pelaksanaan program PNPM Mandiri di
daerah.
c.
Mengetahui
siapa saja atau pihak yang terlibat dalam implementasi pelaksanaan PNPM Mandiri
di daerah.
d.
Mengetahui
kekuatan dan hambatan dalam implementasi program PNPM Mandiri di daerah.
2.
Manfaat
a.
Hasil
penelitian ini akan menambah khasazah kajian keilmuan dalam kebijakan publik,
secara khusus dalam kajian implementasi kebijakan.
b.
Bagi
para stakeholder PNPM Mandiri dan Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini dapat
menjadi referensi dalam membuat dan menyusun kebijakan.
D.
KERANGKA TEORI
1.
Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan
merupakan tahap krusial dalam proses kebijakan publik, sebab pada tahap
implementasi inilah terdapat implikasi atau dampak-dampak dampak kebijakan
tersebut terjadi. Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variabel yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Oleh
karena itu, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh variabel isi kebijakan dan
lingkungan kebijakan. Dua hal ini harus didukung oleh hubungan antar
organisasi, sumberdaya organisasi dan karakteristik kemampuan agen pelaksana.[1]
Keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara nyata
dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya.
Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan
membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan
kebijakan. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya
hasil tergantung pada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan yang
cukup[2].
Dalam proses
implementasi sebuah kebijakan, para ahli mengidentifikasi berbagai faktor yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Dari kumpulan faktor
tersebut kita dapat mentarik benang merah berbagai faktor yang mempengaruhi
keberhasilan implementasi kebijakan publik.
Beberapa diantara
faktor-faktor tersebut adalah; pertama, isi atau content kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari sisi content setidaknya mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut: jelas, tidak distorsif, didukung oleh dasar teori yang teruji,
mudah dikomunikasikan ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia
maupun finansial yang baik.
Kedua, implementator
dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan tergantung pada badan
pelaksana kebijakan (implementator)
dan kelompok target (target groups).
Implementator harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi
untuk melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan
(policy makers), selain itu, kelompok
target yang terdidik dan relatif homogen akan lebih mudah menerima sebuah
kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan heterogen. Lebih
lanjut, kelompok target yang merupakan bagian besar dari populasi juga akan
lebih mempersulit keberhasilan implementasi kebijakan.
Ketiga, lingkungan.
Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat
sebuah kebijakan diimplementasikan juga akan mempengaruhi keberhasilan
kebijakan publik. Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem
politik yang stabil dan demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit
penguasa, dan budaya keseharian masyarakat yang mendukung akan mempermudah
implementasi sebuah kebijakan.
Menurut George C.
Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau
kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya,
struktur birokrasi dan disposisi.[3]
Pertama, faktor
komunikasi. Dalam hal ini secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam
proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsostensi dan kejelasan.
Transmisi adalah, sebelum pejabat atau penentu kebijakan dapat
mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan
telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini
sering terjadi, tidak terlaksananya program seringkali dimulai dari komunikasi
yang tidak baik antar stakeholder kebijakan. Hal ini dapat dijumpai banyak
sekali ditemukan keputusan-keputusan diabaikan atau seringkali terjadi
kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikeluarkan.
Sedangkan konsistensi
adalah jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus
konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan,
tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan
memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Dan
kejelasan adalah, menurut Edwards yang mengidentifikasikan enam faktor
terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah
kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok
masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah
dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan
dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan (ranah hukum).
Kedua, sumber daya.
Sumber daya adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan agar
efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni
kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Tanpa adanya sumber daya,
kebijakan hanya tinggal dikertas saja menjadi dokumen.
Ketiga, disposisi
(kecenderungan atau tingkah laku), yaitu watak dan karakteristik yang dimiliki
oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila
implementor memiliki disposisi yang baik, dia akan dapat menjalankan kebijakan
dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika
implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat
kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Keempat, struktur
birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementsikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
operasi yang standar (standar operating
procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan
dan menimbulkan red-tape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Dan pada akhirnya menyebabkan
aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Sementara itu, menurut
Maarse[4], keberhasilan
suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari kebijakan yang harus dilaksanakan
dimana isi yang tidak jelas dan samar akan membingungkan para pelaksana di
lapangan sehingga interpretasinya akan berbeda. Kemudian ditentukan pula oleh
tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan sehingga
pelaksana dapat bekerja optimal. Lalu ditentukan juga oleh banyaknya dukungan
yang harus dimiliki agar kebijakan dapat dilaksanakan dan pembagian dari
potensi-potensi yang ada seperti diferensiasi wewenang dalam struktur
organisasi.
Atas dasar hal
tersebut, dalam mengimplementasikan suatu kebijakan Pemerintah Daerah harus
memperhatikan bermacam-macam faktor. Arus informasi dan komunikasi perlu
diperhatikan sehingga tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara isi kebijakan
yang diberikan oleh pusat dengan persepsi aparat pelaksana di daerah.
Diperlukan pula dukungan sumber daya maupun stakeholders
yang terkait dengan proses implementasi kebijakan di daerah. Diperlukan pula
pembagian tugas maupun struktur birokrasi yang jelas di daerah sehingga tidak
terjadi ketimpangan tugas dalam proses implementasi suatu kebijakan di daerah.
Diperlukan pula nilai-nilai yang dapat dianut atau dijadikan pegangan oleh
pemerintah daerah untuk menerjemahkan setiap kebijakan yang harus
diimplementasikan.
Berdasar pada
penjelasan diatas, setidaknya berangkat dari konsep Edward II dan Maarse, dapat
disimpulkan bahwa, sebagaimana disimpilkan juga oleh Van Meter dan Van Horn[5]
ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi. Beberapa diantaranya
adalah:
1.
Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar
dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan.
Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur atau tidak jelas, maka akan terjadi
multiimplementasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen
implementasi.
2.
Sumber Daya
Implementasi
kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber
daya non manusia.
3.
Komunikasi Antar Organisasi
Penguatan
aktivitas dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain. Untuk ini diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi
bagi keberhasilan suatu program.
4.
Karakteristik Agen Pelaksana
Agar
pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang
terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu
program.
5.
Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
Variabel
ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan,
yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
6.
Disposisi Implementor
Disposisi
implementor ini mencakup tiga hal, yakni:
a.
Respon implementor terhadap kebijakan,
yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.
b.
Kognisi, yakni pemahamannya terhadap
kebijakan, dan
c.
Intensitas disposisi implementor, yakni
preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor
2.
Kebijakan Publik
Istilah implementasi tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik. Lalu
apa yang dimaksud dengan kebijakan publik? Dari berbagai kepustakaan dapat
diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut
sebagai public policy, yaitu suatu
aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat
seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot
pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh
lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.[6]
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana dapat pahami sebagai
kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum.
Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh
dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu
untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus
dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika
kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi
Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden
termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum
yang harus ditaati.
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah
sebagai public actor, terkait dengan
kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya
diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Karena
itu ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai
apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga
pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang
masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan
publik
Chandler dan Plano menyatakan kebijkan publik adalah pemanfaatan yang
strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk
intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan
kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan
ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik
menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi
pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang
dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.[7]
Pandangan lainnya dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1981). Menurut Dye,
kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang
dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian
ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang
berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik menurut
Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan (decision making), dimana pemerintah
mempunyai wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan
untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.[8]
Selain Chandler, Plano dan Dye, sedikit berbeda David Easton (1969) merumuskan
kebijakan publik dengan mengartikannya sebagai pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini
hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai
suatu proses management, yang
merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya
pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat
untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat
diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.[9]
Kebijakan sendiri secara umum menurut Said Zainal Abidin dapat dibedakan
dalam tiga tingkatan:[10]
a.
Kebijakan
umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang
bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan
wilayah atau instansi yang bersangkutan.
b.
Kebijakan
pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat
pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
c.
Kebijakan
teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi
negara ketika public actor mengkoordinasi
seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik atau umum untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang
dikenal dengan administrasi negara. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari
proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat
program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk
kebijakan. Oleh karena itu kebijakan adalah sarana untuk mencapai tujuan atau
sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.[11]
3.
Program Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat
Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan
yang dilaksanakan oleh suatu organisasi sebagai upaya untuk mengimplementasikan
strategi dan kebijakan serta dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran suatu
organisasi.
Namun satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam rangka perencanaan
program tersebut adalah isu dan permasalahan yang dianggap strategis dan
potensial harus jelas memiliki revelansi untuk dilaksanakan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi lembaga. Terkait dengan perencanaan prgram dalam bidang
penelitian dan pengembangan daerah itu, dilihat dari sudut pandang kelitbangan
sekurang-kurangnya ada empat isu dan permasalahan.
Peran serta masyarakat adalah peran antara berbagai kegiatan masyarakat,
yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk
berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pelibatan
masyarakat dan swasta dalam perumusan dan penetapan kebijakan mempengaruhi
kepentingan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan agar
memberikan hasil dan manfaat yang optimal pada masayarkat.
Pelibatan masyarakat dapa bersiafat pasif dan aktif. Pelibatan pasif
artinya dalam pengambilan keputusan kebijakan oleh pemerintah dilakukan melalui
komunikasi satu arah, misalnya pelibatan melalui pemberian informasi, masukan
atau jawaban. Sedangkan pelibatan aktif dimaknai sebagai; masyarakat bersama
dengan pemerintah secara aktif merancang atau melaksanakan kebijakan, program
atau proyek, termasuk dalam hal sumber daya, yang biasanya dilakukan melalui
komunikasi dua arah.
Upaya penanganan problem kemiskinan dengan pelibatan masyarakat
sebagaimana rekomendasi INDOPOV sesungguhnya bukan merupakan ide atau gagasan
baru. Pada awal tahun 1980-an misalnya, ketika upaya pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah juga menimbulkan efek negatif ketimpangan, gagasan agar
masyarakat terlibat dan menjadi pelaku dalam pembangunan sesungguhnya telah
ada. Hanya saja gagasan tersebut pada masa itu belum memiliki gaung yang cukup
besar sebagaimana sekarang ini.
Pada tahun 1990-an isu tentang pelibatan masyarakat dalam pembangunan
semakin menguat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia akibat
ketimpangan yang disebabkan oleh globalisasi, termasuk juga didalamnya
pelibatan masyarakat dalam menangani problem kemiskinan akibat ketimpangan
pembangunan. John Friedmann sebagai
salah satu aktifis gerakan sosial misalnya, pada tahun 1992 menyuarakan agar
pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilakukan terbatas pada masalah ekonomi,
tetapi juga secara politis. Hal ini menurutnya, karena kebijakan ekonomi pada
dasarnya merupakan kebijakan politik.
Menurut Friedmann, pelibatan masyarakat dalam kebijakan politik ini akan
menjadikan pemerintah dan masyarakat akan memiliki posisi yang kuat dalam
menyelesaikan problem sosial. Paradigma pelibatan masyarakat dalam konsep
pemberdayaan tersebut dilakukan atas keinginan mengubah pola kebijakan yang
sebelumnya sentralistik pada pola otonomi, yaitu dengan memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Karena itu Friedmann menegaskan
bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sangat penting
dalam penyelesaian problem sosial dimana salah satu turunannya adalah
penyelesaian problem-problem kemiskinan.
4.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri
PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama
yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian
yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud
kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri
dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan
prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk
mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan
yang berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan dan meningkatkan
kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan
berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan
kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar
dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan
kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program PNPM
Mandiri ini adalah; meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat
miskin secara mandiri. Dan tujuan khususnyaadalah meningkatnya partisipasi
seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas
adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering
terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan
pembangunan.
a.
Meningkatnya
kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel.
b.
Meningkatnya
kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama
masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak
pada masyarakat miskin (pro-poor).
c.
Meningkatnya
sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok perduli lainnya
untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.
d.
Meningkatnya
keberadaan dan kemandirian masyarakat serta kapasitas pemerintah daerah dan
kelompok perduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.
e.
Meningkatnya
modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya
serta untuk melestarikan kearifan lokal.
f.
Meningkatnya
inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam
pemberdayaan masyarakat.
Rangkaian proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui, pertama; pengembangan
Masyarakat. Komponen Pengembangan Masyarakat mencakup serangkaian kegiatan
untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari
pemetaan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif,
pengorganisasian, pemanfaatan sumberdaya, pemantauan dan pemeliharaan
hasil-hasil yang telah dicapai.
Kedua, untuk mendukung rangkaian kegiatan tersebut, diesediakan dana
pendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, pengembangan relawan dan
operasional pendampingan masyarakat; dan fasilitator, pengembangan kapasitas,
mediasi dan advokasi. Peran fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan,
sedangkan relawan masyarakat adalah yang utama sebagai motor penggerak
masyarakat di wilayahnya.
Ketiga, Bantuan Langsung Masyarakat. Komponen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
adalah dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat
untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan terutama masyarakat miskin.
Keempat, Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Pelaku Lokal. Komponen
Peningkatan Kapasitas Pemerintah dan Pelaku Lokal adalah serangkaian kegiatan
yang meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pelaku lokal/kelompok perduli
lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi yang positif
bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara
layak. Kegiatan terkait dalam komponen ini diantaranya seminar, pelatihan,
lokakarya, kunjungan lapangan yang dilakukan secara selektif dan sebagainya.
Kelima, Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program. Komponen ini
meliputi kegiatan-kegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok
peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan seperti penyediaan konsultan
manajemen, pengendalian mutu, evaluasi dan pengembangan program.
Sedangkann pendekatan atau
upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pengelolaan program adalah pembangunan yang berbasis masyarakat
dengan, pertama, menggunakan kecamatan sebagai lokus program untuk
mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. Kedua, memposisikan
masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan
pada tingkat lokal. Ketiga, mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal
dalam proses pembangunan partisipatif. Keempat, menggunakan pendekatan
pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya dan
geografis. Dan keenam melalui proses pemberdayaan yang terdiri dari atas
pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan.
E.
DEFINISI KONSEPTUAL
1.
Implementasi
kebijakan adalah pelaksanaan kebijakan pemerintah dari formulasi kebijakan
hingga evaluasi kebijakan
2.
Kebijakan
publik adalah serangkaian tindakan dalam bentuk keputusan-keputusan yang
mengikat hajat hidup orang banyak yang dilakukan oleh pemerintah.
3.
Program
pemerintah adalah instrumen kebijakan pemerintah yang berisi satu atau lebih
kegiatan yang dilaksanakan sebagai upaya untuk mengimplementasikan strategi dan
kebijakan serta dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran kebijakan.
4.
Progran
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah program nasional
penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat.
F.
DEFINISI OPERASIONAL
1.
Standar dan sasaran kebijakan adalah
dasar aturan serta arah tujuan kebijakan.
2.
Sumber daya adalah stakeholder dan aset
dalam kebijakan, termasuk karakteristiknya.
3.
Komunikasi antar organisasi adalah
relasi mata rantai antar stakeholder dalam kebijakan
4.
Kondisi sosial, ekonomi dan politik
adalah kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
5.
Disposisi implementor adalah kemampuan
stakehorlder dalam melaksanakan imolementasi kebijakan.
6.
METODE PENELITIAN
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif dalam
penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual dan
akurat dalam sebuah implementasi kebijakan pelaksanaan PNPM Mandiri di daerah.
2.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sentolo.
3.
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, yaitu antara
bulan Juni 2012 hingga bulan Agustus 2012.
4.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data
primer adalah sumberdata yang berasal dari data penelitian lapangan. Sedangkan
sumber data sekunder adalah data yang berasal dari data verbal seperti tulisan
opini, data pustaka dan sebagainya.
5.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan
beberapa teknik, yaitu, pertama wawancara adalah tehnik pengumpulan data
dengan mengajukan secara langsung oleh
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tema penelitian. Peneliti bertemu
secara langsung dengan sumber, dan jawaban-jawaban dari sumber yang dimaksud
dicatat atau direkam. Sumber wawancara dalam penelitian ini terbagi dalam dua
kategori yaitu, responden dan informan. Perbedaan antara informan dan responden
menurut James P. Spradley, informan adalah mereka yang memiliki masalah,
keprihatinan dan kepentingan. Sedang responden hanya memberikan lontaran-lontaran
permukan masalah terbatas pada apa yang diinginkan oleh seorang peneliti[12].
Teknik kedua adalah observasi.
Secara umum teknik observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan
tetapi, observasi atau pengamatan disini diartikan lebih sempit, yaitu
pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan
pertanyaan-pertanyaan namun dengan tetap memberikan analisis secara kritis. Dan
teknik ketiga adalah dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pencatatan dan
memanfaatkan data dari dokumen-dokumen atau buku yang berkaitan dengan
penelitian.
6.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara
kualitatif yaitu suatu analisis terhadap data tidak dinyatakan dalam bentuk angka-angka tetapi dalam
uraian-uraian yang disusun secara sistematis dari apa yang dinyatakan oleh
narasumber atau responden secara lisan maupun tertulis dan juga perilakunya
yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai bagian yang utuh. Adapun dalam penulisan laporan penelitian ini, peneliti menggunakan metode penulisan deduktif, yaitu cara
berfikir dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang
bersifat khusus.
[2]
Solihin Abdul Wahab, Analisis
Kebijaksanaan; Dari Formulasi ke Implementasi, Bumi Aksara, Cet. Ke-6,
Jakarta, 2003. Hal 125
[3] Dalam AG . Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 90
[4]
Dalam AG . Subarsono, Analisis Kebijakan
Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal
77
[5]
Dalam AG . Subarsono, Analisis Kebijakan
Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 99
[6]
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Kebijakan
Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Elex Media Komputindo,
Yogyakarta, 2004. Hal 1-7
[7]
Hessel Nogi S. Tangkilisan. Teori dan
Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan
Publik yang Membumi, Lukman Offset dan YPAPI, Yogyakarta, 2003. Hal 1.
[8]
Hessel Nogi S. Tangkilisan, ibid, hal 3
[9]
Hessel Nogi S. Tangkilisan, ibid, hal 5
[10]
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik,
Penerbit Suara Bebas, Yogyakarta, 2006. Hal 31-33
[11]
Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik,
Ibid, hal 21
[12] James P. Sparadley, The Etnografi
Interview, op. cit, hal 35-52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar