Rabu, 05 Desember 2012

PROPOSAL PENELITIAN Zakia rezki


A.           LATAR BELAKANG MASALAH
Mulai tahun 2007 pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Melaui PNPM Mandiri pemerintah merumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, agar dapat menumbuhkembangkan potensi diri sehingga masyarakat bukan sebagai obyek, melainkan juga sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan.
Pelaksanaan PNPM Mandiri tahun 2007 dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sebagai dasar pengembangan pemberdayaan masyarakat di perdesaan beserta program pendukungnya seperti PNPM Generasi;  Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai dasar bagi pengembangan pemberdayaan masyarakat di perkotaan; dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) untuk pengembangan daerah tertinggal, pasca bencana, dan konflik.
Sejak tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah. Pelaksanaan PNPM Mandiri 2008 juga dilakukan pada desa-desa tertinggal. Dengan pengintegrasian berbagai program pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri, cakupan penanggulangan kemiskinan diharapkan dapat  efektif dan efisien.
Pemerintah mencanangkan proses pemberdayaan dalam program PNPM Mandiri dilaksanakan sekurang-kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalan dengan target waktu pencapaian tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target MDGs tersebut.
Berdasar pada latar belakang tersebut, PNPM Mandiri sebagai salah satu program pemerintaha dalam penanggulangan kemiskinan, maka perlu dilakukan penelitian tentang bagaimana implementasi pelaksanaan PNPM Mandiri di salah satu tempat di Indonesia. Penelitian tersebut akan dititikberatkan pada sampai sejauhmana keterlibatan stakeholder dalam penyusunan program tersebut, sebab masyarakat dalam program ini bukan lagi sebagai obyek penanggulangan kemiskinan, sebaliknya harus menjadi subyek upaya penanggulangan kemiskinan di daerahnya.
Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan karena, dalam beberapa berita media, pelaksanaan PMPM Mandiri di kecamatan ini dianggap cukup berhasil.
B.            RUMUSAN MASALAH
Berdasar pada latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan, yaitu: Bagaimanakan implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dilakukan di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

C.           TUJUAN DAN MANFAAT
1.             Tujuan
a.              Mengetahui proses formulasi program PNPM Mandiri di daerah.
b.             Mengetahui bagaimana model dan bentuk implementasi pelaksanaan program PNPM Mandiri di daerah.
c.              Mengetahui siapa saja atau pihak yang terlibat dalam implementasi pelaksanaan PNPM Mandiri di daerah.
d.             Mengetahui kekuatan dan hambatan dalam implementasi program PNPM Mandiri di daerah.

2.             Manfaat
a.              Hasil penelitian ini akan menambah khasazah kajian keilmuan dalam kebijakan publik, secara khusus dalam kajian implementasi kebijakan.
b.             Bagi para stakeholder PNPM Mandiri dan Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam membuat dan menyusun kebijakan.
D.           KERANGKA TEORI
1.             Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap krusial dalam proses kebijakan publik, sebab pada tahap implementasi inilah terdapat implikasi atau dampak-dampak dampak kebijakan tersebut terjadi. Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh variabel isi kebijakan dan lingkungan kebijakan. Dua hal ini harus didukung oleh hubungan antar organisasi, sumberdaya organisasi dan karakteristik kemampuan agen pelaksana.[1]
Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung pada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan yang cukup[2].
Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Dari kumpulan faktor tersebut kita dapat mentarik benang merah berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik.
Beberapa diantara faktor-faktor tersebut adalah; pertama, isi atau content kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari sisi content setidaknya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: jelas, tidak distorsif, didukung oleh dasar teori yang teruji, mudah dikomunikasikan ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia maupun finansial yang baik.
Kedua, implementator dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan tergantung pada badan pelaksana kebijakan (implementator) dan kelompok target (target groups). Implementator harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan sesuai dengan arahan dari penentu kebijakan (policy makers), selain itu, kelompok target yang terdidik dan relatif homogen akan lebih mudah menerima sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan heterogen. Lebih lanjut, kelompok target yang merupakan bagian besar dari populasi juga akan lebih mempersulit keberhasilan implementasi kebijakan.
Ketiga, lingkungan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah kebijakan diimplementasikan juga akan mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil dan demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya keseharian masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi sebuah kebijakan.
Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi.[3]
Pertama, faktor komunikasi. Dalam hal ini secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsostensi dan kejelasan. Transmisi adalah, sebelum pejabat atau penentu kebijakan dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksananya telah dikeluarkan. Hal ini sering terjadi, tidak terlaksananya program seringkali dimulai dari komunikasi yang tidak baik antar stakeholder kebijakan. Hal ini dapat dijumpai banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan diabaikan atau seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan yang dikeluarkan.
Sedangkan konsistensi adalah jika implementasi ingin berlangsung efektif, maka perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah tersebut mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Dan kejelasan adalah, menurut Edwards yang mengidentifikasikan enam faktor terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah kompleksitas kebijakan, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan (ranah hukum).
Kedua, sumber daya. Sumber daya adalah faktor paling penting dalam implementasi kebijakan agar efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Tanpa adanya sumber daya, kebijakan hanya tinggal dikertas saja menjadi dokumen.
Ketiga, disposisi (kecenderungan atau tingkah laku), yaitu watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Keempat, struktur birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementsikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standar operating procedure atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Dan pada akhirnya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Sementara itu, menurut Maarse[4], keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari kebijakan yang harus dilaksanakan dimana isi yang tidak jelas dan samar akan membingungkan para pelaksana di lapangan sehingga interpretasinya akan berbeda. Kemudian ditentukan pula oleh tingkat informasi dari aktor-aktor yang terlibat dalam pelaksanaan sehingga pelaksana dapat bekerja optimal. Lalu ditentukan juga oleh banyaknya dukungan yang harus dimiliki agar kebijakan dapat dilaksanakan dan pembagian dari potensi-potensi yang ada seperti diferensiasi wewenang dalam struktur organisasi.
Atas dasar hal tersebut, dalam mengimplementasikan suatu kebijakan Pemerintah Daerah harus memperhatikan bermacam-macam faktor. Arus informasi dan komunikasi perlu diperhatikan sehingga tidak terjadi pemahaman yang berbeda antara isi kebijakan yang diberikan oleh pusat dengan persepsi aparat pelaksana di daerah. Diperlukan pula dukungan sumber daya maupun stakeholders yang terkait dengan proses implementasi kebijakan di daerah. Diperlukan pula pembagian tugas maupun struktur birokrasi yang jelas di daerah sehingga tidak terjadi ketimpangan tugas dalam proses implementasi suatu kebijakan di daerah. Diperlukan pula nilai-nilai yang dapat dianut atau dijadikan pegangan oleh pemerintah daerah untuk menerjemahkan setiap kebijakan yang harus diimplementasikan.
Berdasar pada penjelasan diatas, setidaknya berangkat dari konsep Edward II dan Maarse, dapat disimpulkan bahwa, sebagaimana disimpilkan juga oleh Van Meter dan Van Horn[5] ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi. Beberapa diantaranya adalah:
1.             Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur atau tidak jelas, maka akan terjadi multiimplementasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.
2.             Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
3.             Komunikasi Antar Organisasi
Penguatan aktivitas dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk ini diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
4.             Karakteristik Agen Pelaksana
Agar pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.
5.             Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
6.             Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni:
a.              Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.
b.             Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan
c.              Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor













2.             Kebijakan Publik
Istilah implementasi tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik. Lalu apa yang dimaksud dengan kebijakan publik? Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.[6]
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana dapat pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Karena itu ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan publik
Chandler dan Plano menyatakan kebijkan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano dapat diklasifikasikan kebijakan sebagai intervensi pemerintah. Dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi persoalan publik.[7]
Pandangan lainnya dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1981). Menurut Dye, kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan (decision making), dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.[8]
Selain Chandler, Plano dan Dye, sedikit berbeda David Easton (1969) merumuskan kebijakan publik dengan mengartikannya sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.[9]
Kebijakan sendiri secara umum menurut Said Zainal Abidin dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:[10]
a.              Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
b.             Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
c.              Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik atau umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan administrasi negara. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.[11]






3.             Program Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat
Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu organisasi sebagai upaya untuk mengimplementasikan strategi dan kebijakan serta dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran suatu organisasi.
Namun satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam rangka perencanaan program tersebut adalah isu dan permasalahan yang dianggap strategis dan potensial harus jelas memiliki revelansi untuk dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga. Terkait dengan perencanaan prgram dalam bidang penelitian dan pengembangan daerah itu, dilihat dari sudut pandang kelitbangan sekurang-kurangnya ada empat isu dan permasalahan.
Peran serta masyarakat adalah peran antara berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pelibatan masyarakat dan swasta dalam perumusan dan penetapan kebijakan mempengaruhi kepentingan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan agar memberikan hasil dan manfaat yang optimal pada masayarkat.
Pelibatan masyarakat dapa bersiafat pasif dan aktif. Pelibatan pasif artinya dalam pengambilan keputusan kebijakan oleh pemerintah dilakukan melalui komunikasi satu arah, misalnya pelibatan melalui pemberian informasi, masukan atau jawaban. Sedangkan pelibatan aktif dimaknai sebagai; masyarakat bersama dengan pemerintah secara aktif merancang atau melaksanakan kebijakan, program atau proyek, termasuk dalam hal sumber daya, yang biasanya dilakukan melalui komunikasi dua arah.
Upaya penanganan problem kemiskinan dengan pelibatan masyarakat sebagaimana rekomendasi INDOPOV sesungguhnya bukan merupakan ide atau gagasan baru. Pada awal tahun 1980-an misalnya, ketika upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah juga menimbulkan efek negatif ketimpangan, gagasan agar masyarakat terlibat dan menjadi pelaku dalam pembangunan sesungguhnya telah ada. Hanya saja gagasan tersebut pada masa itu belum memiliki gaung yang cukup besar sebagaimana sekarang ini.
Pada tahun 1990-an isu tentang pelibatan masyarakat dalam pembangunan semakin menguat, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia akibat ketimpangan yang disebabkan oleh globalisasi, termasuk juga didalamnya pelibatan masyarakat dalam menangani problem kemiskinan akibat ketimpangan pembangunan.  John Friedmann sebagai salah satu aktifis gerakan sosial misalnya, pada tahun 1992 menyuarakan agar pemberdayaan masyarakat tidak hanya dilakukan terbatas pada masalah ekonomi, tetapi juga secara politis. Hal ini menurutnya, karena kebijakan ekonomi pada dasarnya merupakan kebijakan politik.
Menurut Friedmann, pelibatan masyarakat dalam kebijakan politik ini akan menjadikan pemerintah dan masyarakat akan memiliki posisi yang kuat dalam menyelesaikan problem sosial. Paradigma pelibatan masyarakat dalam konsep pemberdayaan tersebut dilakukan atas keinginan mengubah pola kebijakan yang sebelumnya sentralistik pada pola otonomi, yaitu dengan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Karena itu Friedmann menegaskan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelesaian problem sosial dimana salah satu turunannya adalah penyelesaian problem-problem kemiskinan.





















4.             Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat.  Pengertian yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program PNPM Mandiri ini adalah; meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Dan tujuan khususnyaadalah meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.
a.              Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel.
b.             Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).
c.              Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok perduli lainnya untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.
d.             Meningkatnya keberadaan dan kemandirian masyarakat serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok perduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya.
e.              Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.
f.              Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.

Rangkaian proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui, pertama; pengembangan Masyarakat. Komponen Pengembangan Masyarakat mencakup serangkaian kegiatan untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, pemanfaatan sumberdaya, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai.
Kedua, untuk mendukung rangkaian kegiatan tersebut, diesediakan dana pendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, pengembangan relawan dan operasional pendampingan masyarakat; dan fasilitator, pengembangan kapasitas, mediasi dan advokasi. Peran fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan, sedangkan relawan masyarakat adalah yang utama sebagai motor penggerak masyarakat di wilayahnya.
Ketiga, Bantuan Langsung Masyarakat.  Komponen Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) adalah dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan terutama masyarakat miskin.
Keempat, Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Pelaku Lokal. Komponen Peningkatan Kapasitas Pemerintah dan Pelaku Lokal adalah serangkaian kegiatan yang meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan pelaku lokal/kelompok perduli lainnya agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi yang positif bagi masyarakat terutama kelompok miskin dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak. Kegiatan terkait dalam komponen ini diantaranya seminar, pelatihan, lokakarya, kunjungan lapangan yang dilakukan secara selektif dan sebagainya.
Kelima, Bantuan Pengelolaan dan Pengembangan Program. Komponen ini meliputi kegiatan-kegiatan untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan seperti penyediaan konsultan manajemen, pengendalian mutu, evaluasi dan pengembangan program.
Sedangkann pendekatan atau upaya-upaya rasional dalam mencapai tujuan program dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan program adalah pembangunan yang berbasis masyarakat dengan, pertama, menggunakan kecamatan sebagai lokus program untuk mengharmonisasikan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program. Kedua, memposisikan masyarakat sebagai penentu/pengambil kebijakan dan pelaku utama pembangunan pada tingkat lokal. Ketiga, mengutamakan nilai-nilai universal dan budaya lokal dalam proses pembangunan partisipatif. Keempat, menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya dan geografis. Dan keenam melalui proses pemberdayaan yang terdiri dari atas pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan.










E.            DEFINISI KONSEPTUAL
1.             Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan kebijakan pemerintah dari formulasi kebijakan hingga evaluasi kebijakan
2.             Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan dalam bentuk keputusan-keputusan yang mengikat hajat hidup orang banyak yang dilakukan oleh pemerintah.
3.             Program pemerintah adalah instrumen kebijakan pemerintah yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan sebagai upaya untuk mengimplementasikan strategi dan kebijakan serta dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran kebijakan.
4.             Progran Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat.










F.            DEFINISI OPERASIONAL
1.             Standar dan sasaran kebijakan adalah dasar aturan serta arah tujuan kebijakan.
2.             Sumber daya adalah stakeholder dan aset dalam kebijakan, termasuk karakteristiknya.
3.             Komunikasi antar organisasi adalah relasi mata rantai antar stakeholder dalam kebijakan
4.             Kondisi sosial, ekonomi dan politik adalah kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan.
5.             Disposisi implementor adalah kemampuan stakehorlder dalam melaksanakan imolementasi kebijakan.












6.             METODE PENELITIAN
1.             Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif dalam penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat dalam sebuah implementasi kebijakan pelaksanaan PNPM Mandiri di daerah.

2.             Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sentolo.

3.             Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, yaitu antara bulan Juni 2012 hingga bulan Agustus 2012.

4.             Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumberdata yang berasal dari data penelitian lapangan. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang berasal dari data verbal seperti tulisan opini, data pustaka dan sebagainya.

5.             Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu, pertama wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengajukan secara langsung oleh pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan tema penelitian. Peneliti bertemu secara langsung dengan sumber, dan jawaban-jawaban dari sumber yang dimaksud dicatat atau direkam. Sumber wawancara dalam penelitian ini terbagi dalam dua kategori yaitu, responden dan informan. Perbedaan antara informan dan responden menurut James P. Spradley, informan adalah mereka yang memiliki masalah, keprihatinan dan kepentingan. Sedang responden hanya memberikan lontaran-lontaran permukan masalah terbatas pada apa yang diinginkan oleh seorang peneliti[12].
Teknik kedua adalah observasi. Secara umum teknik observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan tetapi, observasi atau pengamatan disini diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan namun dengan tetap memberikan analisis secara kritis. Dan teknik ketiga adalah dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan pencatatan dan memanfaatkan data dari dokumen-dokumen atau buku yang berkaitan dengan penelitian.

6.             Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif yaitu suatu analisis terhadap data tidak dinyatakan dalam bentuk angka-angka tetapi dalam uraian-uraian yang disusun secara sistematis dari apa yang dinyatakan oleh narasumber atau responden secara lisan maupun tertulis dan juga perilakunya yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai bagian yang utuh. Adapun dalam penulisan laporan penelitian ini, peneliti menggunakan  metode penulisan deduktif, yaitu cara berfikir dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.


[1] Sutrisno Iwantono Pemikiran Tentang Arah Kebijakan. Makalah, Jakarta, 2004.
[2] Solihin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan; Dari Formulasi ke Implementasi, Bumi Aksara, Cet. Ke-6, Jakarta, 2003. Hal 125

[3] Dalam AG . Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 90

[4] Dalam AG . Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 77

[5] Dalam AG . Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.  Hal 99
[6] Riant Nugroho Dwidjowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Elex Media Komputindo, Yogyakarta, 2004. Hal 1-7
[7] Hessel Nogi S. Tangkilisan. Teori dan Konsep Kebijakan Publik dalam Kebijakan Publik yang Membumi, Lukman Offset dan YPAPI, Yogyakarta, 2003. Hal 1.
[8] Hessel Nogi S. Tangkilisan, ibid, hal 3
[9] Hessel Nogi S. Tangkilisan, ibid, hal 5
[10] Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Penerbit Suara Bebas, Yogyakarta, 2006. Hal 31-33
[11] Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, Ibid, hal 21
[12] James P. Sparadley, The Etnografi Interview, op. cit, hal 35-52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar